13 Juli, 2010

TEORI-TEORI TRANSFORMASI SOSIAL


 Teori-teori Transformasi Sosial


Semua orang bersepakat bahwa kehidupan sosial tidaklah statis, melainkan selalu berubah secara dinamis. Tapi, tidak semua orang mempunyai kesepakatan sama dalam mengartikan perubahan social (transformasi social). Malah, konsep perubahan sosial sempat diberi makna intuitif dan sebagai suatu mitos[1] belaka. Dalam perkembangannya pun para ahli memperlihatkan perbedaan dalam memahami perubahan sosial. Pemaknaan konsep perubahan sosial kelihatannya masih problematik hingga kini.[2]
Di antara sekian banyak fenomena sosial yang menjadi orientasi analisis sosiologi, fenomena perubahan sosial barangkali termasuk yang paling sulit dipahami. Adalah wajar jika kemudian banyak terjadi silang pendapat yang controversial dan spekulatif. Perbedaan ini terutama berkisar pada persoalan “formal” yang antara lain mencakup dua persoalan pokok : (1) logika terjadinya perubahan sosial; dan (2) apakah perubahan sosial berkaitan dengan dimensi ruang dan waktu tertentu?.[3]
Bersumber pada perbedaan orientasi formal di atas, maka kemudian berkembang berbagai pendapat yang berbeda di antara sosiolog dalam melihat orientasi analisis dan tema substantif perubahan sosial. Perbedaan-perbedaan itu biasanya bersumber dari perbedaan asumsi dasar dalam melihat masyarakat. Mislnya, ada yang memandang masyarakat merupakan sesuatu yang life dan k arena itu pastilah berkembang dan kemudian berubah. Karena itu, kajian utama perubahan sosial mestinya juga menyangkut keseluruhan aspek kehidupan masyarakat atau harus meliputi semua fenomena sosial yang menjadi kajian sosiologi. Cara pandang demikian mengindikasikann bahwa perubahan sosial mengandung perubahan dalam tiga dimensi :  structural, cultural, dan interaksional. Jadi, orang baru bisa menyebut telah terjadi perubahan sosial manakala telah dan sedang terjadi perubahan pada ketiga dimensi dimaksud. Atau, singkatnya, perubahan sosial tidak lain merupakan perubahan dalam system sosial.[4]
Pendapat pertama di atas banyak dikritik karena dianggap terlalu luas, sehingga dirasa akan mengalami kesulitan melakukan analisis yang baik dan mendalam. Untuk itu, pengkritik mengajukan pendapat, bahwa orientasi kajian perubahan sosial harus berbatas jelas sehingga lebih mudah memahaminya. Karena itu, analisis tentang fenomena perubahan sosial hanya dilakukan dalam kaitannya dengan perubahan yang terjadi dalam organisasi sosial.[5]
Sementara itu, ada pula sosilog lain yang lebih tertarik menganalisis fenomena perubahan sosial sejauh fenomena itu bisa diamati (diukur), seperti mobilitas sosial (tenaga kerja), komposisi penduduk, perubahan system pemerintahan, dan seterusnya. Ada pula sosiolog yang memakai konsep perubahan sosial untuk menyatakan perubahan penting yang terjadi dalam keseluruhan struktur sosial juga mengartiakn perubahan sosial sebagai suatu perubahan penting dalam struktur sosial __ pola-pola perilaku dan system interaksi sosial, termasuk di dalamnya perubahan norma, nilai, dan fenomena cultural. Definisi lain yang bisa ditunjukkan, misalnya, konsep perubahan sosial sebagai munculnya varian-varian baru __ sebagai hasil modifikasi selama berlangsungnya proses sosial __dari bentuk-bentuk pola perilaku yang terstruktur. Malah ada lagi yang berani menggunakan konsep perubahan sosial ketika melihat ada perubahan-perubahan pada komunitas local tertentu. Herbert Blumer sebagiman dikutip Dwi Narwoko, melihat perubahan sosial sebagai usaha kolektif untuk menegakkan terciptanya kehidupan baru.[6]Menurut Ralp Tunner dan Lewis M. Killin yang juga di kutip oleh Narwoko dan Bagong, mengatakan bahwa perubahan sosial sebagai kolektivitas yang bertindak terus-menerus, guna meningkatkan perubahan dalam masyarakat atau kelompok.[7]
Perbedaan-perbedaan cara pemahaman konsep perubahan sosial di atas sudah tentu akan berpengaruh pada kajian-kajian substansi perubahan sosial, terutama yang bersangkut paut dengan perbedaan pada masalah-masalah berikut : (1) tingkat perubahan (makro-mikro); (2) kesinambungan (dan arah gerak perubahan dari mikro ke makro atau sebaliknya); (3) penyebab perubahan sosial (internal atau eksternal, berupa materi, atau ide, dan seterusnya); dan (4) persoalan langsung tidaknya perubahan sosial.

1.    Beberapa Teori Perubahan Sosial
Apapun definisinya, yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa setiap masyarakat selalu mengalami perubahan-perubahan. Termasuk pada masyarakat primitive dan masyarakat kuno sekalipun. Jadi, perubahan itu normal adanya, Kalau ada yang menganggap perubahan itu tidak normal, hal itu tidak lebih karena factor “traumatis”. Perubahan dinilai sebagai “siksaan”, “penuh krisis”, dan dicap sebagai usaha agen asing yang sudah tentu tidak dikehendaki. Jadi, dapat disimpulkan, bahwa perubahan sosial itu merujuk kepada perubahan suatu fenomena sosial di berbagai tingkat kehidupan manusia mulai tingkat individual hingga hingga tingkat dunia.
Berikut beberapa teori perubahan sosial  :
a.    Teori Evolusi Sosial
Sejak abad ke-16 filsafat sejarah Perancis telah mengemukakan suatu pemikiran bahwa umat manusia mengalami perkembangan melalui penahapan tertentu menuju suatu keadaan yang lebih baik. Sikap optimistis dan berbau moralis ini terus diyakini banyak orang meski telah terjadi peristiwa Revolusi Perancis. Keyakinan itu justru diperkuat dengan dasar rujukan legitimasi dan justifikasi baru, yakni teori evolusi biologi.[8]
Dalam teori ini masyarakat dan perkembangannya dianalogikan dengan organism dan pertumbuhan organik.Para Sosiolog memerlukan analogi ini untuk membuat analisis sosial. Menurut mereka ada beberapa kesamaan umum antara organism dan masyarakat, namun begitu mereka pun menyadariperbedaan antara keduanya. Lama kemudian analogi ini baru diterima secara harafiah dan sejak itu masyarakat dianggap sesuatu yang kongkrit, nyata, sebagai organism supra individual. [9]
Analogi organik terutama mengacu pada anatomi keadaan internal masyarakat. Baik organisme maupun masyarakat terdiri dari unsur-unsur yang dapat dilihat (sel,individu) yang tergabung dalam unit-unit yang lebih kompleks (organ, institusi) dan dipersatukan oleh jaringan hubungan tertentu (anatomi organik, ikatan sosial). Singkatnya, keduanya mempunyai struktur. Tetapi diakui, tipe integrasi structural keduanya berbeda. Organisme mempunyai tipe integrasi structural yang kuat dan ketat; tak satu bagianpun dapat dibayangkan ada yang terlepas dari keseluruhannya. Integrasi sosial dalam masyarakat jauh lebih longgar.;[10]
Dalam karya teoritis evolusi klasik, citra khusus mengenai perubahan sosial dan historis terbentuk secara bertahap. Meski ada perbedaan pandangan dikalangan tokohnya, namun semuanya menerima sejumlah asumsi umum yang menjadi inti teori evolusi, yaitu: (1) semua tokoh menganggap bahwa keseluruan sejarah manusia memunyai bentuk, pola, logika, atau makna unik yang melandasi banyak kejadian yang tampaknya serampangan dan tak berkaitan. Polanya itu dapat ditemukan dan dapat diketahui, dan tujuan teori evolusi adalah merekonstruksi polanya itu. Rekronstruksi itu akan meberikan pemahaman mengenai sejarah masa lalu dan membuka jalan untuk memprediksi sejarah masa depan; (2) objek yang mengalami perubahan adalah keseluruhan masyarakat, kemanusiaan. Objek ini dipandang sebagai kesatuan tunggal yang paling luas. Meskipun beberapa teori hanya memusatkan perhatian pada fragmen atau aspek tertentu dari masyarakat seperti agama, moral, atau teknologi, namun aspek itu berkembang bersama dengan keseluiruhan masyarakat, dan bahwa aspek itu hanya merupakan gejala saja dari evolusi sosial keseluruhan; (3) keseluruhan ini dipahami dengan istilah  organik, dengan menerapkan analogi organik, sebagai sebuah system yang terintegrasi secara ketat dari unsure-unsur dan subsistem; (4) perhatian dipusatkan kepada perubahan kesatuan oraganik itu, pada system sosial; (5) perubahan masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, terjadi dimana saja, niscaya dan merapakan ciri tidak terhindarkan dari realitas sosial. Jika terlihat setabilitas atau statmas, itu ditafsirkan bagai perubahan yang tertahan, terhalang dan dipandang sebagai perkecualian; (6) karena diterapakan sebagai kesatuan tunggal, maka masyarakat sebagai kesatuan yang mengalami perubahan evolusioner menyeluruh tiu dipandang sebagai proses menyeluruh yang dapat dibayangkan dan dikaji sebagai satu totalitas dengan mengabstraksikannya pada tingkat tertinggi; (7) perubahan masyarakat dipandang mengarah dan bergerak dari bentuk primitif ke bentuk yang berkembang, dari keadaan kacau ke keadaan teratur; (8) perubahan evolusi dibayangkan berpola unilinear, mengukuti pola atau lintasan tunggal; (9) lintasan evolusi ini terbagi dalam fase, atau periode berbeda, mengikuti rentetan, konstan dan tidak satu fasepun yang  dapat diloncati; (10) perubahan evolusi dianggap bertahap, terus-menerus, meningkat, dan kumulatif; (11) Evolusi mempunyai mekanisme penyebab yang sama yang menggerakkan proses kedepan; (12) tenaga pendorong ke arah perubahan terdapat di dalam “sifat” masyarakat, berasal dari kebutuhan dasarnya untuk terwujud dan berubah sendiri; (13) perubahan evolusi dianggap bersifat sepontan; (14) perubahan evolusioner dianggap sama dengan kemajuaa\n yang menghasilkan perbaikan bagi kehidupan manusia.[11]
b.    Teori Neo-evolusionisme
Teori ini dikembangkan oleh Talcott Parson yang bermula dari seminatr yang diselenggarakannya di Harvard Univecity pada tahun 1963. Parson dikenal sebagai a biologist masyarakat manusia tidak ubahnya organisme biologis dan karya karyanya banyak dikenal sebagai paradigma ini. Teori Person yang terkenal adalah teori tentang tindakan manusia. Tentang hal ini ia membedakan menjadi empat subsistem: organisme, kepribadian, system sosial, dan system keltural. Keempat unsure ini tersusun dalam uraian sibernetic (cybernic order) dan mengendalikan tindakan manusia.
Semua tindakan manusia ditentukan oleh keempat subsistem: system cultural, sosial, kepribadian, dan organisme. Sistem cultural merupakan sumber ide, pengetahuan, nilai, kepercayaan, dan symbol-simbol. System ini penuh dengan gagasan dan ide. Karena itu, kaya akan informasi, tetapi lemah dalam energy dan aksi. Aplikasi dari sistem kultural  yang kaya informasi tersebut ada pada sistem di bawahnya. System cultural memberikan arahan, bimbingan, dan pemaknaan terhadap tindakan manusia dalam system sosial. Untuk sampai pada bentuk tindakan manusia dalam system sosial. Untuk sampai pada tindakan nyata, kepribadian, system sosial berfungsi sebagai mediator terhadap system kultural. Artinya, symbol-simbol budaya diterjemahkan begitu rupa dalam system sosial ytang kemudian disampaikan kepada individu-individu warga sitem sosial melalui proses sosialisasi dan internalisasi.[12]
Tidak seperti prinsip teori evolusi sosial yang membagi perkemabangan masyarakat secara dikotomis, Parson-seperti halnya teoretisi neo-evolusi lainnya, menunjukkan adanya perkembangan masyarakat transisional. Menurut Parson, masyarakat akan berkembang melalui tiga tingakatan utama: (1) primitive; (2) intermediate; dan (3) modern. Dari tiga tahapan ini, oleh Parson dikembangkan lagi kedalam subklasifikasi evolusi sosial lagi sehingga menjadi lima tingkatan: (a) primitif; (b) advanced primitif and arcchaice; (c) historic intermediate; (d) seedbed societies; dan (e) modern societies. [13]
c.         Teori Lingkaran Sejarah
Pandangan teori ini mengenai proses sejarah berbeda dari teori lain yang berasal dari evolusionisme. Teori ini mencerminkan pandangan alternative mengenai sejarah. Sejarah dilihat sebagai proses berulang, bukan menurut garis lurus; potensinya ada kalanya dapat melema dan kembali ke awal proses, bukannya lebih baik  berkembang tanpa batas. Jadi, perubahan sosial dan historis dan tidak bergerak menurut garis lurus tetapi melingkar.
Seperti semua teori sejarah, teori ini berakar dari analogi yang berasal dari comon sense. Teori ini meninggalkan analogi pertumbuhan organik kaum evolusionis dan mulai bekerja dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari yang berulang dan naik turun.




[1]Suatu cara pandang konservatif yang menganggap, bahwa perubahan sosial sebagai suatu penyimpangan sosial. Mengembangkan masyarakat sebagai suatu tatanan yang penuh keseimbangan dan karenanya berada dalam kondisi stabil. Termasuk aliran konservatif ini adalah penganut paradigm struktur-fungsional. Dalam melihat perubahan yang terpenting memerhatikan struktur dari pada prowess, dan tepatnya ketika sampai pada analisis proses pun ternyata yang dikaji hanya kondisi structural yang sempit.
[2]Lihat J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta : kencana, 2006), 361
[3]Ibid., 361
[4] Ibid, 362
[5] Ibid., 362
[6] Ibid., 362-363
[7] Ibid., 363
[8]Adalah Charles Darwin yang pertama kali merumuskan teori evolusi. Hal ini dapat dilihat dari bukunya, On the Origin of Species. Namun unsur-unsur dan prinsip-prinsip teori evolusi telah banyak disinggung orang lain sebelum Darwin. Immanuel kant, misalnya, pernah membuat dugaan bahwa persamaan-persamaan dalam bentuk-bentuk alam yang hidup mungkin menunjuk kepada nenek moyang yang sama. Selain itu, prinsip tentang keturunan, juga sudah dikemukakan Lamark. Ia mengatakan bahwa pertalian dan kemiripan organisme alamiah satu sama lain adalah akibat adanya bentuk asli yang merupakan asal usul bersama, sedangkan jika terjadi perbedaan tidak lain karena perbedaan adaptasi dengan lingkungan yang berbeda. Lihat Ibid., 364
[9] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial,  Terj., ( Jakarta : Prenada, 2008), 115
[10] Ibid., 116
[11] Ibid
[12] J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: teks…., 370
[13] Ibid., 371

MENDEFINISIKAN PENDIDIKAN ISLAM


MENDEFINISIKAN PENDIDIKAN ISLAM



Dalam kehidupan manusia kebutuhan akan kegiatan pendidikan merupakan suatu yang sangat mutlak, dan manusia tidak bisa dipisahkan dari kegiatan tersebut. Hal ini dikemukan oleh A. Fatah Yasin yang meminjam pernyataan Jonh Dewey bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia guna membentuk dan mempersiapkan pribadinya agar hidup dengan disiplin.[1]
Pernyataan Jonh Dewey tersebut mengisyaratkan bahwa sejatinya suatu komunitas kehidupan  manusia, di dalamnya telah terjadi dan selalu memerlukan pendidikan, mulai dari kehidupan masyarakat primitif sampai pada model masyarakat modern. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan secara alami merupakan kebutuhan hidup manusia, upaya melestarikan kehidupan manusia dan telah berlangsung sepanjang peradapan manusia itu ada. Dan hal ini sesuai dengan kodrat manusia yang memiliki peran rangkap dalam  hidupnya yaitu makhluk individu yang perlu berkembang dan sebagai anggota masyarakat di mana mereka hidup. Untuk itu, pendidikan mempunyai tugas ganda, yakni di samping mengembangkan kepribadian manusia secara individual, juga mempersiapkan manusia sebagai anggota penuh dari kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan lingkungannya.[2]

1.     Makna Pendidikan Islam
Kata “pendidikan,” dalam bahasa Yunani, dikenal dengan nama paedagogos yang berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi, dikenal dengan educare, artinya membawa keluar (sesuatu yang ada di dalam). Bahasa Belanda menyebut istilah pendidikan dengan nama opvoeden, yang berarti membesarkan atau  mendewasakan, atau voden artinya memberi makan. Dalam bahasa Inggris disebutkan dengan istilah educate/education, yang berarti to give moral and intellectual training artinya menanamkan moral dan melatih intelektual [3]
Dari istilah-istilah dalam barbagai bahasa tersebut A. Fata Yasin menyederhanakan makna pendidikan, bahwa pendididikan itu merupakan kegiatan yang di dalamnya terdapat: 1). Proses pemberian pelayanan untuk menentukan perkembangan peserta didik, 2). Proses untuk mengeluarkan atau menumbuhkan potensi yang terpendam dalam diri peserta didik, 3). Proses memberikan sesuatu kepada peserta didik sehingga tumbuh menjadi besar, baik fisik maupun non-fisiknya, 4). Proses penanaman moral atau proses pembentukan sikap, perilaku, dan melatih kecerdasan intelektual peserta didik.
Jika di atas telah disebutkan pengertian pendidikan secara umum, Maka pengertian Pendidiikan Islam secara substansi tidak jauh beda. Perbedaannya hanya terletak pada penekanannya saja. Pendidikan Islam begitu menekankan pada sapek pembentukan pribadi yang Islami atau lebih pada penenaman etika Islam, sedangkan pendidikan umum lebih menekankan pada penguasaan keilmuan semata.
Istilah pendidikan yang seringdigunakan dalam bahasa Arab adalah tarbiyah dan ta’lim.  Kedua istilah tersebut diambil dari kata dasar rabbaa dan ‘allama. Dr. Ahmad Syarabashi membedakan antara ta’lim dan tarbiyah. Ta’lim ialah pengajaran dan menghimpunan informasi-informasi, biasanya dalam otak; sedangkan tarbiyah mengandung pengertian pengarahan, pendidikan, dan latihan. Ta’lim mengarahkan pertama-tama kepada pencerdasan akal, ingatan, dan hafalan: sedangkan tarbiyah pertama-tama mengarahkan kepada pendidikan jiwa, rohani, dan hati.[4]
Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa al-ta’lim dalam dunia pendidikan berarti pengajaran, yang hanya memberikan ilmu semata terhadap anak didik. Sedangkan al-tarbiyah berarti pendidikan yang mencakup aspek ilmu dan akhlak. Oleh karena itu, pendidikan menurut Islam ialah menumbuhkan pikiran manusia, serta mengatur akhlak dan perangainya berdasarkan ajaran Islam.
Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Aisyah Dahlan bahwa pendidikan adalah membina pertumbuhan dan perkembangan anak untuk mencapai kedewasaan dalam arti kata yang seluas-luasnya, baik rohani atau jasmani, serta memupuk kemampuan anak, baik mental, fisik, dan teknis untuk dapat berdiri sendiri menghadapi tantangan-tantangan hidup.[5]
Sedangkan menurut Azyumardi Azra Pendidikan Islam sangatlah berbeda dengan dakwah Islam. Azra lebih melihat Pendidikan Islam dari aspek kesejarahannya.    Diakui Azra bahwa memamg pendidikan Islam    pada awal pertumbuhannya bersentuhan dengan upaya-upaya dakwah Islamiyah. Hal ini terbukti dengan dijadikannya rumah Al- Arqam sebagai pusat Pendidikan Islam sekaligus pusat dakwah Islam.[6]  Akan tetapi, melalui proses historis yang panjang, pendidikan Islam lambat laun memformalkan dirinya menjadi sebuah sistem pendidikan Islam yang berbeda dengan dakwah Islam. Menurut Muhammad Jamal yang dikutip oleh Toto Suharto pendidikan Islam adalah subjek didik yang didik dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat, sedagkan objek dakwah Islam adalah masyarakat yang menyimpang dari ajaran Islam sehingga para Rasul diutus untuk meluruskannya.[7]
Inti Pendidikan Islam menurut Jawwad Ridha yang masih dikutip Toto Suharto adalah pemikiran yang memandang Islam sebagai “madrasah” (tempat belajar) bagi umat Islam. Dengan pengertian ini, Pendidikan Islam dimaksudkan sebagai usaha yang dilakukan Islam dalam rangka pembentukan masyarakat “baru” yang merupakan lawan dari masyarakat jahiliyah.[8] Menurut Toto ini juga diungkapkan oleh Sulthan bahwa Islam adalah suatu kekuatan edukatif (quwwah tarbawiyyah), dalam arti bahwa Islam memiliki peran edukatif dalam membentuk suatu masyarakat agar mempunyai nilai-nilai moral dan sosial dalam  pengertiannya yang luas.[9]
Lebih terperinci lagi, Abdurrahman Al- Nahlawi menyebutkan bahwa pendidikan Islam merupakan suatu proses penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk dan taat kepada Islam dan menerapkannya secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat.[10] Berdasarkan pengertian ini, Pendidkan Islam bertugas membimbing seorang manusia agar dapat menjalankan amanat yang diembankan kepadanya. Amanat ini bersifat individual dan sosial. Sementara itu, menurut Muhammad Quthb, yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah usaha melakukan pendekatan menyeluruh terhadap wujud manusia, baik segi jasmani maupun rohani, baik kehidupannya secara fisik maupun secara mental dalam melaksanakan kegiatannya di bumi ini.[11] Di sini, Quthb memandang Pendidikan Islam sebagai suatu aktivitas yang berusaha memahami diri manusia secara totalitas melalui berbagai pendekatan, dalam rangka menjalankan kehidupannya di dunia ini.
Dalam pada itu, Ali Ashraf menulis :
“Pendidikan Islam adalah pendidikan yang melatih sensibilitas murud-murid sedemikian rupa, sehingga  dalam perilaku mereka terhadap kehidupan, langkah-langkah dan keputusan, begitu pula pendekatan mereka terhadap semua ilmu pengetahuan, diatur oleh nilai-nilai etika Islam yang sangat dalam dirasakan.”[12] 

Di sini, Ashraf lebih menekankan aspek sensibilitas dalam memberikan definisi pendidikan Islam. Pengertian ini mengandung unsur praktis yang dilakukan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Apabila murid-murid memiliki sensibilitas yang diatur oleh nilai-nilai etika Islam, maka usaha pendidikan dinyatakan telah berhasil. Jadi, pendidikan Islam menurut Ashraf pada intinya adalah pendidikan akhlak.
Begitu banyak pengertian pendidikan Islam yang dikemukakan para pakar bidang pendidikan Islam. Semuanya berbeda-beda, tergantung kepada sudut pandang yang digunakannya. Hal ini menunjukkan bahwa alangkah sulit dan rumit merumuskan pengertian pendidikan Islam. Menurut Ahmad Tafsir, sulitnya upaya merumuskan pengertian pendidikan Islam karena dua hal, yaitu karena banyaknya jenis kegiatan yang disebut dengan pendidikan Islam dan karena luasnya aspek yang dibina oleh pendidikan Islam.[13]
Sesulit apapun upaya merumuskan pengertian pendidikan Islam, sebagai sebuah kajian ilmiah, hal ini kiranya mesti dilakukan juga. Untuk itu Khalil Abu Al-Ainain dalam Filsafah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah fi al-Qur’an al-Karim menyebutkan, sebagaimana yang dikutip Toto Suharto, bahwa untuk mengemukakan terlebih dahulu lima watak atau karakter pendidikan Islam, yaitu : (1) pendidikan Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik berupa aspek fisik, mental, akidah, akhlak, emosional, estetika, maupun sosial; (2)pendidikan Islam bermaksud meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat secara seimbang dan sama; (3) pendidikan Islam bermaksud mengembangkan semua aktivitas manusia dalam interaksinya dengan orang lain, dengan menerapkan prinsip integritas dan keseimbangan; (4) pendidikan Islam dilaksanakan secara kontinu dan terus-menerus tanpa batas waktu, mulai dari proses pembentukan janin dalam rahim sang ibu hingga meninggal dunia; dan (5) Pendidikan Islam melalui prinsip integritas, universal, dan keseimbangan, bermaksud mencetak manusia yang memerhatikan nasibnya di dunia dan akhirat. Dengan kelima watak ini menurut Toto Suharto, abu Ainain menyimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan “sistem hidup yang sempurna”.[14]

2.     Dasar Pendidikan Islam
Tidak bisa dipungkiri Islam lahir membawa revolusi pendidikan. Ayat yang pertama turun menurut jumhur ulama’ adalah surat al-‘Alaq. Isinya mengandung perintah untuk belajar. Berdasar ayat tersebut, Rasulullah saw mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu :
طلب العلم فريضة علي كل مسلم والمسلمة (رواه ابن ماجاه)
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat”
Rasulullah juga memberikan bimbingan kepada umatnya agar sukses, baik di dunia maupun di akhirat, dengan memperkaya ilmu pengetahuan, sebagaimana diungkap dalam sabdanya :
من اراد الدنيا فعليه بالعلم ومن اراد الاخرة فعليه بالعلم ومن ارادهما فعليه با لعلم
“Siapa ingin (bahagia ) dunia harus berilmu, siapa ingin (bahagia di) akhirat harus berilmu, dan siapa ingin (bahagia di) dunia dan akhirat harus berilmu”
Langkah awal Perjuangan Rasulullah adalah memberantas buta huruf secara besar-besaran, karena beliau tahu benar bahwa agama tidak akan tumbuh bila umatnya bodoh. Rasulullah berhasil mengubah masyarakat Arab yang semula bodoh (jahiliyah) menjadi masyarakat yang berilmu. Islam pun cepat menyebar ke pelbagai pelosok dunia, dan mewariskan berbagai budaya yang sangat tinggi dan berguna bagi umat manusia.
Sangat disayangkan, kitab-kitab warisan abad VIII sampai XIII yang berbicara sosiologi, ilmu hukum, astronomi, ilmu gizi, falsafah, pendidikan, logika, matematika, arsitektur, konstruksi, sastra, kedokteran tidak terjamah. Ironisnya, warisan inilah yang selanjutnya diambil dan dikembangkan oleh bangsa Eropa dan hasilnya digunakan untuk menjajah, menindas, dan memeras umat Islam.[15]

3. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam
Tugas pendidikan Islam senantiasa bersambung (kontinu) dan tanpa batas. Hal ini karena hakikat pendidikan Islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan consensus universal yang ditetapkan oleh Allah SWT dan rasul-Nya. Pendidikan yang terus menerus dikenal dengan istilah “min al-mahdi ila al-lahdi” (dari buaian sampai liang lahad) atau dalam istilah lain : “long life education” (pendidikan sepanjang hayat dikandung badan). Demikian juga tugas  yang diberikan pada lembaga pendidikan Islam bersifat dinamis, progresif, dan inovatif mengikuti kebutuhan peserta didik dalam arti yang luas.[16]
Menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsan al-Kaylani, tugas pendidikan Islam  pada hakekatnya tertumpu pada dua aspek, yaitu pendidikan tauhid dan pendidikan pengembangan tabiat peserta didik. Pendidikan tauhid dilakukan dengan pemahaman terhadap jenis-jenis tauhid (rububiyah, uluhiyah, sifat dan asma); ketundukan, kepatuhan, dan keikhlasan menjalankan Islam, dan menghindarkan dari segala bentuk kemusyrikan. Sedang pendidikan pengembangan tabiat peserta didik adalah mengembangkan tabiat itu agar mampu memenuhi tujuan penciptaanya, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Dan menyediakan bekal  untuk beribadah, seperti makan dan minum. Menurut Ibnu Taimiyah, manusia yang sempurna adalah manusia yang senantiasa beribadah, baik beribadah diniyyah maupun beribadah kawniyyah. Ibadah diniyyah adalah ibadah yang berhubungan dengan pencipta (ta’abbudi) dan sesama manusia (ijtima’i). Sedangkan ibadah kawniyah adalah ibadah yang berhubungan dengan  ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Allah SWT. Setelah memahami hukum-hukum alam dan hukum-hukum sosial kemasyarakatan.[17]
Untuk menelaah tugas-tugas pendidikan Islam, dapat dilihat dari tiga pendekatan, yaitu: (1) pendidikan dipandang sebagai pengembangan potensi; (2) pendidikan dipandang sebagai pewarisan budaya; (3) pendidikan dipandang sebagai interaksi antara pengembangan potensi dan pewarisan budaya. Menurut Hasan Langgulung ketiga pendekatan itu tidak dapat berdiri sendiri, karena merupakan satu keutuhan. Tetapi dalam pelaksanaannya terkadang salah satu di antara ketiga pendekatan itu ada yang lebih dominan, sementara yang lain proporsinya lebih diperkecil.[18]
Pendidikan Islam sebagai pengembangan potensi,
Merupakan realisasi dari pengertian al-insya (menumbuhkan atau mengaktualisasikan potensi). Asumsi tugas ini adalah bahwa manusia mempunyai sejumlah potensi atau kemampuan, sedangkan pendidikan merupakan proses untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi tersebut. Pendidikan berusaha untuk menampakkan (aktualisasi) potensi-potensi laten tersebut dimiliki oleh setiap peserta didik.
Dalam Islam, potensi laten yang dimiliki manusia banyak ragamnya. Abdul Mujib menyebutkan delapan macam potensi bawaan manusia, yaitu: (1)  Al-Fithrah (Citra Asli), fithrah merupakan citra asli manusia, yang berpotensi baik atau buruk di mana aktualisasinya tergantung pilihannya; (2) Struktur Manusia, struktur adalah “satu organisasi permanen, pola, atau kumpulan unsur-unsur yang bersifat relatif setabil, menetap, dan abadi; (3) al-Hayah (Vitality), adalah daya, tenaga, energy, atau vitalitas hidup manusia karenanya manusia dapat bertahan hidup.; (4) al-Khuluq (Karakter), Akhlaq (bentuk tunggal dari akhlaq) adalah kondisi batiniah (dalam) bukan kondisi lahiriyah (luar) individu yang mencakup al-thab’u dan al-sajiyah; (5) Al-Thab’u (Tabiat), tabiat yaitu citra batin individu yang menetap (al-sukun); (6) Al-Sajiyah (Bakat), sajiah adalah kebiasaan (‘adah) individu (fardiyyah) dengan aktifitas-aktifitas yang diusahakan (al-muktasab); (7) Al-Sifat (Sifat-sifat), yaitu satu ciri khas individu yang relatif menetap, secara terus-menerus dan konsekuen yang diuangkapkan dalam satu deretan keadaan; (8) Al-Amal (Perilaku), ialah tingkah laku lahiriah individu yang tergambar dalam bentuk perbuatan nyata.[19]
Pendidikan sebagai pewarisan budaya
dari pengertian tarbiyah al-Tabligh  (menyampaikan atau transformasi kebudayaan). Tugas pendidikan selanjutnya adalah mewariskan nilai-nilai dan norma-normanya tidak berfungsi dan belum sempat diwariskan pada generasi berikutnya, yaitu: (1) nilai ilahiyah; nilai yang dititahkan Allah SWT. Melalui para rasul-Nya yang diabadikan pada wahyu; (2) nilai insaniyah; nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradapan manusia.
Interaksi antara Pengembangan Potensi dan Pewarisan Budaya
Manusia secara potensial mempunyai potensi dasar yang harus diaktualkan dan dilengkapi dengan peradapan dan kebudayaan Islam. Demikian juga, aplikasi peradapan dan kebudayaan harus relevan dengan kebutuhan dan perkembangan potensi dasar manusia. Tanpa memperhatikan kebutuhan dan perkembangan itu, peradapan dan kebudayaan hanya akan menambah beban hidup yang mengakibatkan kehidupan yang anomaly (inkhiraf) yang menyalahi ‘desain’ awal Allah SWT. Ciptaan. Interaksi antara potensi dan budaya itu harus mendapatkan tempat dalam proses pendidikan, dan jangan sampai ada salah satunya yang diabaikan. Tanpa interaksi itu, harmonisasi kehidupan akan terhambat.
Sedangkan fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan Islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat struktural dan institusional.
Arti dan tujuan strukstur adalah menuntut terwujudnya struktural organisasi pendidikan yang  mengatur jalannya proses kependidikan, baik dilihat dari segi vertikal maupun segi horizontal. Faktor-faktor pendidikan bisa berfungsi secara interaksional (saling mempengaruhi) yang bermuara pada tujuan pendidikan yang diinginkan. Sebaliknya, arti tujuan institusional mengandung implikasi bahwa proses kependidikan yang terjadi di dalam struktur organisasi itu dilembagakan untuk menjamin proses pendidikan yang berjalan secara konsisten dan berkesinambungan yang mengikuti kebutuhan dan perkembangan manusia dan cenderung ke arah tingkat kemampuan yang optimal. Oleh karena itu, terwujudlah berbagai jenis dan jalur kependidikan yang formal, informal, dan nonformal dalam masyarakat.
Menurut Kurshid Ahmad, yang dikutip Ramayulis, fungsi pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa.
2. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya memulai pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga menusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan social dan ekonomi

4. Tujuan Pendidikan Islam
Dalam adagium ushuliyah dinyatakan bahwa: ”al-umur bi maqashidiha”, bahwa setiap tindakan dan aktivitas herus berorentasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Adagium ini menunjukkan bahwa pendidikan seharusnya berorentasi pada tujuan yang ingin dicapai, bukan semata-mata berorentasi pada sederetan materi. Karena itulah, tujuan pendidikan Islam menjadi komponen pendidikan yang harus dirumuskan terlebih dahulu sebelum merumuskan komponen-komponen pendidikan yang lain.
Tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta mengarahkan usaha yang akan dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Di samping itu, tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha, agar kegiatan berfokus pada apa yang dicita-citakan, dan yang terpenting lagi adalah dapat member penilaian atau evaluasi pada usaha-usaha pendidikan.
Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorentasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya, misalnya tentang: Pertama, tujuan dan tugas hidup manusia. Manusia hidup bukan bukan karena kebetulan dan  sia-sia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu (QS. ali Imran: 191). Tujuan dicipatakan manusia hanya untuk mengapdi kepada Allah SWT. Indikasi tugasnya berupa ibadah (sebagai ‘abda Allah) dan tugas sebagai wakil-Nya di muka bumi (khalifah Allah).[20] Firman Allah SWT.

“sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam. (QS. al-An’am: 162)
Kedua, memerhatikan sifat-sifat dasar (nature) manusia, yaitu konsep tentang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai berbagai potensi bawaan, seperti fitrah, bakat, minat, sifat, dan karakter, yang berkecenderungan pada al-hanief (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam (QS. al-Kahfi: 29) sebatas kemampuan, kapasitas, dan ukuran yang ada[21]. Ketiga, tuntutan masyarakat.  Tuntutan baik ini berupa pelestarian nialai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dunia modern.
Keempat, dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dimana kehidupan dunia ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat, serta mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga menusia ditintut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi  atau materi yang dimiliki. Namun demikian, kemelaratan dan kemiskinan dunia harus diberantas, sebab kemelaratan dunia bisa menjadikan ancaman yang menjerumuskan manusia pada kekufuran. Dalam Hadis disebutkan “kada al-faqr an yakuna kufran”, kemelaratan itu hampir saja mendatangkan kekafiran. Dimensi tersebut dapat memadukan antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi (QS. al-Qashash: 77) keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hidup ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negative dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketentraman dan ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spiritual, social, cultural, ekonomi, maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia.[22]


[1] A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, ( Malang: UIN-Press. 2008),  15
[2] Ibid., 15-16
[3] Ibid., 16
[4] Anshori, “Pendidikan Menurut Pandangan Islam “ dalam Jurnal al-Furqan, IIQ Jakarta, No. 8 Tahun VI 1998, 68
[5] Aisyah Dahlan, Prinsip-prinsip Pendidikan Agama Islam,( Surabaya: al-Ma’arif, 1968), 9
[6] Azyumardi Azra, “Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains” sebuah pengantar untuk Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam ,terj., ( Jakarta : Logos, 1994), v
[7] Toto  Suharto, Filsafat Pendidikan Islam,( Jogjakarta : Ar-Ruzz, 2006), 28
[8] Ibid, 28
[9] Ibid, 28-29
[10] Abdurrahman Al-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, Terj., Bandung : Diponegoro, 1989, 41
[11] Muhammad Quthb, Sisttem Pendidiakn Islam,Terj., Bandung : Al-Ma’arif, 1984, 27
[12] Ali Ashraf,
[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,( Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994), 26
[14] Lihat Toto Suharto, Filsafat Pendidkan Islam, 31 dan Ali Khalil Abu Al-Ainain, Falsafah al-Tarbiyyah fi al-Qur’an al-Karim ,( T.tp : Dar al-Fikr al-‘Araby, 1980), 147-148
[15] M. Chabib Toha, Strategi Pendidikan Islam Menyongsong Abad XXI, (Cirebon: Panitia Seminar dan Lokakarya Nasional Pendidikan Islam, 1995),.5
[16] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,, (Jakarta : Putra Grafika, 2008), 51
[17] Ibid, 51-52
[18] Hasan Anggulung, Pendidikan Islam Mneghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustakah al-Husnah, 1988), 57-65
[19] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam…,52-63.
[20] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam…,71-72
[21] Hasan maggulung, Manusia dan Pendidikan., Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan, (jakarta: pustaka al-Khusna, 1989), 34
[22] Arifin HM., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina aksara, 1987), 120

08 Juli, 2010

Pendidikan Islam Sebagai Proses Transformasi SOSIAL

PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES TRANSFORMASI SOSIAL
(belajar dari Moeslim Abdurrahman )

oleh : Ahmad Mukahfi 



Dalam wacana filsafat pendidikan, ada dua pemahaman yang sangat mendasar terhadap lembaga pendidikan. Pertama, lembaga pendidikan dapat dipahami dalam ruang lingkup yang luas, yang mencakup pembelajaran manusia (human and learning) dalam rangka mereproduksi kebudayaan dan masyarakatnya. Oleh karena itu, bagi anak didik, praktek pedagogi merupakan kesempatan untuk mengerti bagaimana pengalaman-pengalaman budaya dan masyarakat dapat ditransformasikan dalam jaman kehidupan yang akan mereka alami[1].


Dengan demikian, tugas seorang guru tidak hanya merangkum pengalaman-pengalaman itu dalam program kurikulum dan didaktif-metodik, tetapi juga harus menunjukkan arah yang kritis tentang bagaimana implikasi pengalaman tersebut bagi anak didik, baik secara moral maupun politik. Kedua, lembaga pendidikan dapat dipahami dalam hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan (power/knowledge) yang secara ideologis sesungguhnya tidak netral. Ketika ilmu pengetahuan itu dibawa dalam proses belajar mengajar, selalu ada intervensi dan mediasi dalam memperebutkan makna pengetahuan (every form of knowledge), dan bagaimana proses menghasilkan dan mengembangkannya, akan selalu berkaitan dengan hubungan-hubungan khusus terhadap kekuasaan politik tertentu[2].


Agenda pembicaraan berikutnya, sesuai dengan topik, ialah perlunya kita menentukan pilihan mengenai apa yang kita sebut dengan pendidikan. Amat banyak rumusan yang dapat kita temukan di dalam buku-buku
yang membahas tentang pendidikan. Namun, sejauh yang dikemukakan oleh Moeslim Abdurrahman , ada dua  pengertian yang sering kali diperdebatkan secara fundamental. Pertama, pandangan bahwa “pendidikan” pada dasarnya adalah proses pewarisan, penerusan, atau enkulturasi dan sosialisasi perilaku sosial yang telah menjadi model anutan masyarakat lingkunganya secara baku. Kedua, pandangan yang mengartikan “pedidikan” sebagai upaya fasilitatuf yang memungkinkan terciptanya situasi atau potensi-potensi dasar apa saja yang di miliki anak-anak yang dapat diperkembangkan sesuai dengan ketentuan kebutuhan mereka pada suatu zaman dan dimana mereka harus survival. Menurut pandangannya dua sudut pandang itu masing masing juga mempunyai implikasi yang luas terhadap praktek-praktek pelaksanaan pendidikan, agama. Sebab pewarisan seringkali diterjemahkan sebagai usaha utopia tertentu yang bersifat statis. Sedangkan dengan anggapan kedua, lebih memungkinkan bagi anak didik untuk menemukan profil dirinya sendiri yang lebih aktual dalam konteks lingkungan dan kurun waktu tempat mereka sedang mengambil peran dalam panggung sejarahnya sendiri[3].


Oleh karena topik pembicaraan ini mau tidak mau juga harus dihubungkan dengan cita-cita sosio-kultural tempat praktek pendidikan itu hendaknya dilaksanakan, Moeslim Abdurrahman menyatakan, kita juga harus memberikan pilihan-pilihan terhadap cara merumuskan problematik masyarakat di masa yang akan datang. Mana yang bersifat sentral dan mana yang kita anggap masalah peripheral. Di sinilah, mau tidak mau, kita akan terjebak dalam definisi subyektif tatkala kita harus menyeleksi sekian banyak plobematik berdasarkan sudut pandang dan kepedulian kita masing-masing. Mungkin ada sebagian orang yang sangat peduli terhadap modernisasi, dalam arti menganggap perlunya memacu masyarakat agar terus mengajar ketinggalan-ketinggalan terhadap suatu model bangsa atau Negara lain yang kita anggap sudah modern. Untuk itu diperlukan langkah-langkah strategi untuk mencapainya. Misalnya melalui program-program pendidikan agama yang pararel ikut menanamkan sikap yang lebih rasional agar anak didik tidak akan menjadi orang yang jumud, tahayul, dan boros karena suka melaksanakan yang bid’ah, ritus-ritus yang tidak ekonomis. Sedangkan di lain pihak, bisa jadi ada sekelompok orang yang lebih perduli terhadap persoalan-persoalan transformasi umat[4]. Realitas membuktikan bahwa di dalam kehidupan masyarakat, tantangan demi tantangan selalu merambah kehidupan warganya, dan arus tantangan tersebut akan semakin deras dan berat seirama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta terus mempengaruhi dalam berbagai dimensi kehidupan menusia. Di sinilah terlihat urgensi yang semakin tinggi dari upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat atau bangsa agar tidak terus terseret dan terbawa arus kemajuan yang menimpanya[5]



Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam membangun nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosiolisasi. Paradigma Fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan malatih, kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembanguanan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human Investmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi di bandingkan dengan investasi dalam bidang fisik. Sejarah dengan paradigma Fungsional, paradigma sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara umum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkakan kehidupan masyarakat secara keseluruhan[6].


Memang seharusnya sumua kalangan masyarakat bisa merasakan keadilan mendapat pendidikan yang layak. Sehingga mereka bisa bertransformasi menjadi manusia yang siap mnghadapi segala macam perubahan yang terjadi dengan tidak memandang latar belakangnya.  Melalalui pendekatan transformatif inilah yang akan menjadi acuan yang sangat penting agar dalam proses ini masyarakatlah yang akan merencanakan program dirinya, memahami strategi dan peluang-peluang yang mungkin dapat meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia yang mulia di depan Penciptanya. Oleh karena itu, sepatutnya transformasi menjadi gerakan kemanusiaan yang mampu mengantarkan kehidupan social yang sederajat di depan Allah SWT. Suatu gerakan transformative yang menumbuhkan kepedulian terhadap nasib sesama, dan yang melahirkan aksi solidaritas. Yakni bertujuan mempertalikan mitra insani atas dasar kesadaran iman, bahwa sejarah suatu kaum hanya akan diubah oleh Tuhan jika ada kehendak dan upaya dari semua anggota kaum itu sendiri[7].


Transformasi rupanya jalan yang paling manusiawi untuk mengubah sejarah kehidupan umat manusia. Sebab dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan dan bukan pengarahan apalagi pemaksaan. Transformasi, pada dasarnya juga adalah gerakan cultural yang yang didasarkan pada liberalisasi, humanisasi dan transendensi yang bersifat profetik. Yakni mengubah sejarah kehidupan masyarakat oleh masyarakat sendiri ke arah partisapatif dan emansipatoris. Suatu cita-cita yang melambangkan penjunjungan tinggi harkat dan harga kemanusiaan, keyakinan orang dihargai dan perbedaan pendapat menjadi tradisi[8].

Akhirnya yang paling mendasar dari yang telah dipaparkan di atas adalah: Pendidikan itu merupakan kegiatan membelajarkan masyarakat secara keseluruhan agar mempunyai kemampuan untuk bertransformasi menghadapi hidup yang mereka alami di masa mendatang. Dengan pendidikan, masyarakat akan didampingi dalam mengarungi kehidupan yang baru. Sehingga mampu bersama-sama merubah kehidupan yang lebih baik secara mandiri. Dan meraka akan tau kewajiban serta hak-hak mereka. Tanpa harus menjadi manusia tertindas oleh para penindas. Dalam transformasi sosial ini Moeslim merumuskan visi transformasi tersebut dengan visi yang besar. Yaitu bagaimana mengutuhkan kembali hubungan sosial yang terkoyak-koyak oleh ketimpangan dewasa ini, dalam kesadaran iman yang aktual, walau dimulai dengan serangkaian kegiatan transformatif yang sekecil apapun[9]



[1] Moeslim Abdurrahman, Islam Yang Memihak, cet I (Yogyakarta: LkiS. 2005), hl. 119.
[2] Ibid.,
[3] Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, cet III (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1997), hl. 246-247.
[4] Ibid.,
[5] Hasbullah, Dasar-dasar Pendidikan, edisi revisi 6 (Jakarta: PT RajaGrafindo. 2008), hl. 105.

[6]Zainal Muttaqien.  2009. Peranan Pendidikan : Mitos atau Realitas ? (Online) (http://elmuttaqie.wordpress.com/, diakses 24 November 2009)

[7] Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, cet III (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1997), hl. 40.
[8] Ibid., 40-41
[9] Ibid.,hal.60-61