08 Juli, 2010

Pendidikan Islam Sebagai Proses Transformasi SOSIAL

PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES TRANSFORMASI SOSIAL
(belajar dari Moeslim Abdurrahman )

oleh : Ahmad Mukahfi 



Dalam wacana filsafat pendidikan, ada dua pemahaman yang sangat mendasar terhadap lembaga pendidikan. Pertama, lembaga pendidikan dapat dipahami dalam ruang lingkup yang luas, yang mencakup pembelajaran manusia (human and learning) dalam rangka mereproduksi kebudayaan dan masyarakatnya. Oleh karena itu, bagi anak didik, praktek pedagogi merupakan kesempatan untuk mengerti bagaimana pengalaman-pengalaman budaya dan masyarakat dapat ditransformasikan dalam jaman kehidupan yang akan mereka alami[1].


Dengan demikian, tugas seorang guru tidak hanya merangkum pengalaman-pengalaman itu dalam program kurikulum dan didaktif-metodik, tetapi juga harus menunjukkan arah yang kritis tentang bagaimana implikasi pengalaman tersebut bagi anak didik, baik secara moral maupun politik. Kedua, lembaga pendidikan dapat dipahami dalam hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan (power/knowledge) yang secara ideologis sesungguhnya tidak netral. Ketika ilmu pengetahuan itu dibawa dalam proses belajar mengajar, selalu ada intervensi dan mediasi dalam memperebutkan makna pengetahuan (every form of knowledge), dan bagaimana proses menghasilkan dan mengembangkannya, akan selalu berkaitan dengan hubungan-hubungan khusus terhadap kekuasaan politik tertentu[2].


Agenda pembicaraan berikutnya, sesuai dengan topik, ialah perlunya kita menentukan pilihan mengenai apa yang kita sebut dengan pendidikan. Amat banyak rumusan yang dapat kita temukan di dalam buku-buku
yang membahas tentang pendidikan. Namun, sejauh yang dikemukakan oleh Moeslim Abdurrahman , ada dua  pengertian yang sering kali diperdebatkan secara fundamental. Pertama, pandangan bahwa “pendidikan” pada dasarnya adalah proses pewarisan, penerusan, atau enkulturasi dan sosialisasi perilaku sosial yang telah menjadi model anutan masyarakat lingkunganya secara baku. Kedua, pandangan yang mengartikan “pedidikan” sebagai upaya fasilitatuf yang memungkinkan terciptanya situasi atau potensi-potensi dasar apa saja yang di miliki anak-anak yang dapat diperkembangkan sesuai dengan ketentuan kebutuhan mereka pada suatu zaman dan dimana mereka harus survival. Menurut pandangannya dua sudut pandang itu masing masing juga mempunyai implikasi yang luas terhadap praktek-praktek pelaksanaan pendidikan, agama. Sebab pewarisan seringkali diterjemahkan sebagai usaha utopia tertentu yang bersifat statis. Sedangkan dengan anggapan kedua, lebih memungkinkan bagi anak didik untuk menemukan profil dirinya sendiri yang lebih aktual dalam konteks lingkungan dan kurun waktu tempat mereka sedang mengambil peran dalam panggung sejarahnya sendiri[3].


Oleh karena topik pembicaraan ini mau tidak mau juga harus dihubungkan dengan cita-cita sosio-kultural tempat praktek pendidikan itu hendaknya dilaksanakan, Moeslim Abdurrahman menyatakan, kita juga harus memberikan pilihan-pilihan terhadap cara merumuskan problematik masyarakat di masa yang akan datang. Mana yang bersifat sentral dan mana yang kita anggap masalah peripheral. Di sinilah, mau tidak mau, kita akan terjebak dalam definisi subyektif tatkala kita harus menyeleksi sekian banyak plobematik berdasarkan sudut pandang dan kepedulian kita masing-masing. Mungkin ada sebagian orang yang sangat peduli terhadap modernisasi, dalam arti menganggap perlunya memacu masyarakat agar terus mengajar ketinggalan-ketinggalan terhadap suatu model bangsa atau Negara lain yang kita anggap sudah modern. Untuk itu diperlukan langkah-langkah strategi untuk mencapainya. Misalnya melalui program-program pendidikan agama yang pararel ikut menanamkan sikap yang lebih rasional agar anak didik tidak akan menjadi orang yang jumud, tahayul, dan boros karena suka melaksanakan yang bid’ah, ritus-ritus yang tidak ekonomis. Sedangkan di lain pihak, bisa jadi ada sekelompok orang yang lebih perduli terhadap persoalan-persoalan transformasi umat[4]. Realitas membuktikan bahwa di dalam kehidupan masyarakat, tantangan demi tantangan selalu merambah kehidupan warganya, dan arus tantangan tersebut akan semakin deras dan berat seirama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta terus mempengaruhi dalam berbagai dimensi kehidupan menusia. Di sinilah terlihat urgensi yang semakin tinggi dari upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat atau bangsa agar tidak terus terseret dan terbawa arus kemajuan yang menimpanya[5]



Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam membangun nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosiolisasi. Paradigma Fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan malatih, kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembanguanan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human Investmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi di bandingkan dengan investasi dalam bidang fisik. Sejarah dengan paradigma Fungsional, paradigma sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara umum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkakan kehidupan masyarakat secara keseluruhan[6].


Memang seharusnya sumua kalangan masyarakat bisa merasakan keadilan mendapat pendidikan yang layak. Sehingga mereka bisa bertransformasi menjadi manusia yang siap mnghadapi segala macam perubahan yang terjadi dengan tidak memandang latar belakangnya.  Melalalui pendekatan transformatif inilah yang akan menjadi acuan yang sangat penting agar dalam proses ini masyarakatlah yang akan merencanakan program dirinya, memahami strategi dan peluang-peluang yang mungkin dapat meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia yang mulia di depan Penciptanya. Oleh karena itu, sepatutnya transformasi menjadi gerakan kemanusiaan yang mampu mengantarkan kehidupan social yang sederajat di depan Allah SWT. Suatu gerakan transformative yang menumbuhkan kepedulian terhadap nasib sesama, dan yang melahirkan aksi solidaritas. Yakni bertujuan mempertalikan mitra insani atas dasar kesadaran iman, bahwa sejarah suatu kaum hanya akan diubah oleh Tuhan jika ada kehendak dan upaya dari semua anggota kaum itu sendiri[7].


Transformasi rupanya jalan yang paling manusiawi untuk mengubah sejarah kehidupan umat manusia. Sebab dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan dan bukan pengarahan apalagi pemaksaan. Transformasi, pada dasarnya juga adalah gerakan cultural yang yang didasarkan pada liberalisasi, humanisasi dan transendensi yang bersifat profetik. Yakni mengubah sejarah kehidupan masyarakat oleh masyarakat sendiri ke arah partisapatif dan emansipatoris. Suatu cita-cita yang melambangkan penjunjungan tinggi harkat dan harga kemanusiaan, keyakinan orang dihargai dan perbedaan pendapat menjadi tradisi[8].

Akhirnya yang paling mendasar dari yang telah dipaparkan di atas adalah: Pendidikan itu merupakan kegiatan membelajarkan masyarakat secara keseluruhan agar mempunyai kemampuan untuk bertransformasi menghadapi hidup yang mereka alami di masa mendatang. Dengan pendidikan, masyarakat akan didampingi dalam mengarungi kehidupan yang baru. Sehingga mampu bersama-sama merubah kehidupan yang lebih baik secara mandiri. Dan meraka akan tau kewajiban serta hak-hak mereka. Tanpa harus menjadi manusia tertindas oleh para penindas. Dalam transformasi sosial ini Moeslim merumuskan visi transformasi tersebut dengan visi yang besar. Yaitu bagaimana mengutuhkan kembali hubungan sosial yang terkoyak-koyak oleh ketimpangan dewasa ini, dalam kesadaran iman yang aktual, walau dimulai dengan serangkaian kegiatan transformatif yang sekecil apapun[9]



[1] Moeslim Abdurrahman, Islam Yang Memihak, cet I (Yogyakarta: LkiS. 2005), hl. 119.
[2] Ibid.,
[3] Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, cet III (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1997), hl. 246-247.
[4] Ibid.,
[5] Hasbullah, Dasar-dasar Pendidikan, edisi revisi 6 (Jakarta: PT RajaGrafindo. 2008), hl. 105.

[6]Zainal Muttaqien.  2009. Peranan Pendidikan : Mitos atau Realitas ? (Online) (http://elmuttaqie.wordpress.com/, diakses 24 November 2009)

[7] Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, cet III (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1997), hl. 40.
[8] Ibid., 40-41
[9] Ibid.,hal.60-61




Tidak ada komentar: